Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Bak senjata pamungkas yang tidak tergantikan, yang selalu dimunculkan ketika banyak absurditas perilaku siswa yang terjadi di sekolah. Memang benar, dalam dunia pendidikan front liner kegiatan belajar mengajar atau lebih idealnya kegiatan mendidik dan membina siswa di sekolah adalah guru. Namun pertanyaannya, apakah guru menjadi penyebab satu-satunya kegagalan tercapainya tujuan pendidikan?.
Memang ada banyak argumentasi, tapi yang paling pokok bahwa pendidikan bukan hanya milik tanggung jawab satu pihak. Pendidikan merupakan lingkaran sistemik yang melibatkan banyak pihak. Ibarat sebuah mata rantai, setiap anak rantai memiliki perannya masing-masing. Bisa dibayangkan jika ada salah satu peran tidak berjalan maksimal atau lebih jauh lagi menyimpang, jelas akan berdampak pada peran-peran yang lain. Tentu tidak fair, jika kita melimpahkan semua kegagalan proses hanya pada guru. Sedangkan sedari awal persoalan pendidikan saat ini, sudah terlalu rumit dan ruwet yang tidak mungkin hanya mengandalkan tugas guru semata. Apalagi jika pendidikan saat ini sudah menjadi barang komoditas politik yang mempunyai nilai profit menggiurkan, baik secara anggaran dan juga pencitraan. Dalam kasus Indonesia misalnya, PR tentang anggaran pendidikan, fasilitas pendidikan, sampai dengan proses rekruitmen guru dan tenaga pendidikan masih belum terurai sempurna. Kita masih disibukkan oleh masalah-masalah kebangsaan yang seharusnya sudah selesai puluhan tahun yang lalu. Saat ini, orang lebih tertarik membahas elektabilitas partai dan capres, ketimbang merumuskan sebuah sistem yang mampu memberi kebaikan disetiap lini, tanpa terpengaruh oleh figur-figur yang akan menyetir negeri ini.
Bahkan yang paling memprihatinkan, tokoh-tokoh negeri ini juga menjadikan pendidikan sebagai salah satu proyek pencitraan politik yang sadis. Bagaimana tidak? Mereka dengan sengaja menjadikan pendidikan seolah tergantung dengan figur ataupun partai tertentu, ketimbang melahirkan sistem yang mempunyai pengaruh positif, menguntungkan, konsisten dan bebas kepentingan kelompok. Sehingga yang sering muncul adalah suara klaim sepihak ketimbang realisasi yang senyatanya terjadi di lapangan. Tidak heran jika muncul slogan “pendidikan di provinsi anu, atau kota anu (anonym) maju berkat kerja keras tokoh ini dan partai ini”. Heh… sungguh terlalu!!!! Teganya mereka melakukan itu. Padahal kenyataannya, bisa jadi gurulah yang sudah bekerja keras. Bahkan sebelum adanya tokoh atau partai tertentu memimpin. Dan yang paling penting, para tokoh juga harusnya sadar bahwa keberadaannya di pemerintahan, baik mewakili rakyat ataupun partai tertentu, sudah hal yang lumrah dan bahkan wajib bagi mereka menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat, salah satunya pendidikan. Jadi bukan merupakan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, atau bahkan dibuat opini yang membodohi rakyat. Karena sejatinya kita tidak sedang mencari kelompok atau tokoh, melainkan mencari sistem yang mampu memberi jalan keluar yang baik, yang tak resisten dengan perbedaan bendera kelompok atau juga tokoh.
Kita semua bisa membayangkan, dengan suasana seperti ini bagaimana mungkin guru bisa bekerja dengan nyaman. Bagaimana mungkin guru sebagai front liner bisa menjalankan tugasnya dengan tenang, jika seluruh perannya selalu dikaitkan dengan pencitraan tokoh tertentu. Padahal seharusnya keberadaan mereka (para tokoh politik) menjadi penguat akan perannya di lapangan. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, persoalan-persoalan pendidikan yang paling mendasar seperti fasilitas pendidikan, kesejahteraan guru dan biaya pendidikan, harusnya jauh lebih mudah terurai. Bahkan otonomi daerah harusnya memungkinkan semua pihak di daerah duduk bersama untuk membuat solusi yang baik dalam menyelesaikan persoalan pendidikan semisal kenakalan siswa, tanpa lagi harus menunggu instruksi dan arahan pusat.
Jadi STOP menyalahkan Guru! Saatnya kita duduk bersama dan membulatkan tekad untuk membuat pendidikan jauh lebih baik dari masa ke masa. Tanpa terpengaruh oleh ulah politisi-politisi partai yang narsis yang hanya membuat pendidikan tidak berjalan ke jalur yang seharusnya.
http://kantorberitapendidikan.net/stop-menyalahkan-guru/

Tidak ada komentar: