“Kamu masih kecil sudah bisa berbohong, bagaimana nanti sudah besar”, bentak seorang Ayah kepada anaknya. Si anak hanya tertunduk lesu. Butiran air mata menetes membasahi kedua pipinya yang lucu.
٭٭٭
Ayah-Bunda, setiap orangtua tentu merasa kesal jika anaknya suka berbohong. Dalam hal ini, seringkali orangtua mengekspresikan kekesalannya itu dengan memarahi anaknya. Dengan harapan si anak tidak berbohong lagi. Namun, seringkali justru yang terjadi adalah si anak tetap melakukan kebohongan. Dengan demikian, cara mengatasi perilaku berbohong pada anak dengan memarahinya adalah treatment yang tidak tepat.
Saya kembali ingin mengajak Ayah-Bunda untuk introspeksi. Terkadang perilaku berbohong muncul pada diri anak dipicu oleh sikap kita sendiri. Masih ingatkah Ayah-Bunda ketika mengatasi anak yang sulit makan? Ada di antara orangtua yang mengatakan, “Ayo, ade makan yang pinter ya, Bunda mau jalan-jalan sama Ayah. Kalau ade makannya gak pinter, nanti gak diajak.”
Padahal, setelah anak menyelesaikan makannya, Anda tidak pergi jalan-jalan ke manapun. Ini berarti Anda berbohong untuk mencapai suatu tujuan (anak makan). Celakanya, anak merekam peristiwa ini dengan baik dan memberikan interpretasi sendiri. Ia akan berpikir, “Oh, berarti tidak masalah berbohong untuk mencapai suatu tujuan.”
Ketika peristiwa semacam ini berlangsung beberapa kali, maka semakin kuatlah interpretasi yang dibuat anak tersebut. Tak heran sebetulnya jika kemudian anak meniru perilaku orangtuanya. Ketika ia memiliki suatu tujuan tertentu, ia menggunakan jurus berbohong untuk bisa meraihnya. Misalnya, ia meminta uang kepada orangtuanya untuk sumbangan temannya yang sakit, padahal untuk jajan atau membeli suatu mainan.
Efeknya bisa bercabang ke mana-mana. Bukan hanya berbohong untuk suatu tujuan tertentu. Akan tetapi, bisa juga kemudian si anak berbohong untuk menutupi kekurangan diri atau menghindari hukuman. Misalnya, si anak mendapat nilai 5 dalam pelajaran Matematika. Kemudian, ketika temannya bertanya, “Dapat nilai berapa?” Ia menyebutkan nilai 8 untuk menutupi kekurangannya. Ia merasa malu jika harus menyebutkan nilai sebenarnya karena itu sama dengan memberitahukan kekurangannya.
Sementara, contoh anak berbohong untuk menghindari hukuman, misalnya ketika anak ditanya oleh Ayahnya, “Nak, sudah shalat?” Karena takut mendapat hukuman dari ayahnya, ia mengatakan bahwa dirinya telah melaksanakan shalat. Padahal, Ia belum shalat.
Oleh karena itu, sebagai orangtua, kita harus mampu mengambil tindakan tepat untuk mengatasi perilaku berbohong pada diri anak.
Pertama, hentikan membohongi anak dengan mengatakan misalnya ia tidak akan diajak jalan-jalan atau menjanjikannya dibelikan sesuatu untuk suatu tujuan agar anak melakukan apa yang kita inginkan. Padahal, Anda tidak melakukan hal itu.
Kedua, buatlah lingkungan keluarga yang kondusif untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran pada diri anak. Maksudnya, jangan pernah berbohong sekecil apapun atau dengan maksud bercanda sekalipun terhadap anak. Dengan demikian, anak akan meniru sikap jujur orangtuanya.
Ketiga, buatlah kesepakatan antara Anda dan anak untuk bersikap jujur dan menghindari kebohongan berikut konsekuensinya jika ada yang melanggar. Namun, yang harus diingat konsekuensi tersebut haruslah konsekuensi yang mendidik.
Keempat, jika memungkinkan, berilah contoh pengalaman nyata kepada anak bahwa berbohong itu akan membawa kerugian bagi diri pelakunya. Sebaliknya, jujur akan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi diri pelakunya. Misalnya, mengajak anak ke pasar untuk menyaksikan para pedagang bertransaksi. Ceritakan pada anak bahwa pedagang yang jujur akan memiliki banyak pelanggan, sehingga jualannya laku. Sebaliknya, pedagang yang curang akan ditinggalkan pembeli, sehingga jualannya tidak laku. Dengan empat treatment di atas, mudah-mudahan perilaku berbohong pada diri anak terkikis dan hilang berganti dengan sikap jujur. Selamat menanamkan kejujuran pada anak-anak Anda!
http://kantorberitapendidikan.net/mengatasi-perilaku-anak-yang-berbohong

Tidak ada komentar: